Pada awal Juni 2001, W.S. Rendra menghubungi penulis untuk
mempertanyakan keberadaan riwayat kota Purwokerto yang menurutnya aneh
jika tidak menjadi salah satu pusat kekuasaan politik pada masa lampau.
Anggapan Rendra ada benarnya karena di sebelah barat kota Purwokerto
pada zaman Hindu Buddha dan Islam dikenal ada kerajaan Pasirluhur
sebagaimana dikisahkan dalam teks Babad Pasir yang ditulis di Pasir
Wetan dan telah dipublikasikan oleh J. Knebel (1900).
Teks Babad
Pasir menjelaskan bahwa kerajaan Pasirluhur adalah kerajaan yang
merdeka. Artinya, Pasirluhur bukan daerah bawahan, baik Majapahit maupun
Pajajaran. Berbeda dengan Kadipaten Wirasaba yang berkedudukan sebagai
kerajaan bawahan atau daerah Majapahit. Teks-teks tembang Babad Pasir
melegitimasikan kerajaan Pasirluhur yang
dikuasai oleh keturunan Arya Bangah yang berasal dari Galuh. Arya Bangah adalah
cikal-bakal raja-raja Pasirluhur. Silsilah Arya Bangah memang tidak dicantumkan
dalam teks Babad Pasir. Namun, silsilah Pasir Wetan dan teks Babadipun Dusun
Perdikan Gumelem mencantumkan raja-raja Pasirluhur yang juga diklaim sebagai raja-raja Galuh.
Tabel 1.
Silsilah Awal Pasirluhur
No. / Silsilah Pasir Wetan / Babadipun Dusun Perdikan Gumelem
1. / Aria Panukar / Arya Bangah = Panular
2. / Dewa Rangka Agung / Dewa Gung
3. / Dewa Manda Rangka / Agung Dewa
4. / Dewa Cirung Rangka / Carang Rahang
5. / Dewa Cirung Gandul / Hami Daha
6. / Kandha Daha Kandha / Daha
7. / Ciptarasa / Ciptarasa
(Sumber: Priyadi, 2007: 117).
Tokoh Arya Bangah hingga Kandha Daha adalah raja-raja Pasirluhur yang disebut juga raja-raja Galuh (lihat Tabel 1)
karena asal-mula tokoh cikal-bakal memang berasal dari Galuh, yaitu
kerajaan yang didirikan oleh Wertikandayun setelah runtuhnya
Tarumanegara. Informasi itu dituturkan oleh kitab Sunda Kuna, Carita
Parahiyangan. Tokoh Arya Bangah yang bertempur dengan Siyung Wanara
adalah tokoh-tokoh babad yang berasal dari tokoh sejarah seperti yang
tercantum dalam Carita Parahiyangan, Hariang Banga dan Sang Manarah (Atja & Saleh
Danasasmita, 1981: 43). Hariang Banga adalah anak dari Rahyang Tamperan atau Rakai Panaraban dengan Pangrenyep. Rakai Panaraban adalah anak Sanjaya (Raja Mataram Kuna).
Jadi, Hariang Banga adalah cucu Sanjaya. Manarah adalah anak
Permanadikusuma, cucu Wijayakusuma, buyut Purbasora. Purbasora adalah
uwak Sanjaya. Perang antara Banga dan Manarah merupakan perang besar
sesama saudara yang dapat didamaikan oleh Demunawan (adik Purbasora).
Kedua belah pihak yang bertikai kawin dengan cicit atau buyut
Demunawan. Manarah kawin dengan Kencana Wangi, sedangkan Banga kawin
dengan Kencana Sari. Selama 20 tahun, Banga menjadi raja bawahan Manarah
dan 7 tahun sebagai raja merdeka (raja Sunda). Banga bergelar Prabu
Krtabhuwana Yasawiguna Haji Mulya (739 – 766 M).
Beliau wafat pada tahun 784 M dalam usia 61 tahun. Gelar Banga di atas
terdapat unsur kºta dan yasa yang searti dengan kerta. Dengan demikian,
Banga
berkuasa pada masa sesudah Sanjaya dan Rakai Panaraban. Rakai Panaraban menurut Prasasti Wanua Tengah III (908 M) berkuasa pada tahun 706 – 725 Saka atau 784 – 803 M (Atmosudiro dkk., 2001: 4; bdk. Darmosoetopo, 2003: 29),
sedangkan menurut Carita Parahiyangan pada tahun 732 – 739 M (Atja
& Saleh Danasasmita, 1981: 50). Perbedaan kesaksian antara Carita
Parahiyangan dengan Prasasti Wanua Tengah III memerlukan penelitian
lanjutan di masa yang akan datang.
Sementara itu, berita dari
Dinasti T’ang menyebutkan bahwa antara tahun 627 dan 649, utusan Ho-ling
dan utusan dari suatu kerajaan yang berada di sebelah baratnya, yaitu
T’o-p’o-teng menghadap kaisar Cina. Van der Meulen (1988: 79) menafsirkan bahwa kerajaan itu diterjemahkan menjadi Purwokerto (yang disusun di permulaan).
T’o-p’o-teng menurutnya merupakan bacaan dari Tata Weteng yang searti
dengan Purwokerto. Dalam rangka memperkuat argumentasinya, Van der
Meulen menyebutkan adanya toponim Metenggeng dan Bobotsari, yang juga
searti dengan Tata Weteng.
Ho-ling pada masa itu yang berkuasa menurut Tabel 2 mestinya raja sebelum ayah Kertikeyasingha (632 – 649 M)
untuk menunjuk tahun 627, sedangkan untuk tahun 649 dapat bertepatan
dengan masa kekuasaan sang ayah atau Prabu Kertikeyasingha sendiri (649 – 674 M). Kertikeyasingha adalah suami Dewi Sima (674 – 695 M).
Dugaan
T’o-p’o-teng sama dengan Pasirluhur yang selama ini ditafsirkan perlu
ditinjau lagi. Berarti ada kerajaan lain, yaitu Galuh Purba (Sempakwaja-Purbasora) atau Galuh Baru (Mandiminyak-Senna)? Van der Meulen (1988: 79) berpendapat bahwa Galuh Purba berkuasa atas Purwokerto yang berada di sebelah barat Holing (Bagelen).
Pendapat Van der Meulen dapat dilihat dari adanya tiruan topografi
Galuh di sekitar Pasirluhur. Ada kemungkinan bahwa Pasirluhur sudah ada
sebelum Arya Bangah atau Hariang Banga berkuasa. Atau dapat ditafsirkan
bahwa ada dua periode awal Purwokerto, yaitu (1) periode T’o-p’o-teng dan (2)
periode Pasirluhur. Periode yang pertama bersamaan dengan keberadaan
Ho-ling, sedangkan periode kedua bertepatan dengan masa Hindu Buddha di
Jawa.
Tabel 2.
Raja-Raja Ho-ling
No. / Periode / Lama / Nama dan Gelar / Keterangan
1. / 554-570 Ç = 632-649 M / 16 / Ayah Prabu Kertikeyasingha
2. / 570-596 Ç = 649-674 M / 26 / Prabu Kertikeyasingha Mertua Mandiminyak
3. / 596-617 Ç = 674-695 M / 21 / Dewi Sima = Sri Maharani Mahisasuramardini Satyaputikeswara Istri Prabu Kertikeyasingha
4. / 617-664 Ç = 695-742 M / 47 / Rakryan Narayana = Prabu Iswara Kesawalingga Jagatnala Buwanatala
5.
/ 664-682 Ç = 742-760 M / 18 / Rakyan Dewasingha = Prabu Iswaralingga
Jagatnata / 676 Ç pindah ke Jawa Timur (Warugasik) di Kadatwan
Linggapura. Mertua Sanjaya
6. / 682-711 Ç = 760-789 M / 29 / Rakryan Limwa = Prabu Gajayana Linggajagatna
(Sumber: Ayatrohaedi & Atja, 1991: 80 – 81).
Pada
periode Hindu Buddha di Jawa, Purwokerto menceritakan hegemoni
Pasirluhur atas wilayah yang jelas, yakni sebelah utara Sungai Serayu.
Pada masa Adipati Kandha Daha, Pasirluhur bersekutu dengan 25 kerajaan
kecil di sekitar DAS Serayu, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat,
serta pesisir selatan Jawa Tengah. Salah satunya adalah Adipati Mersi.
Adipati Mersi mempunyai rivalitas dengan Adipati Kabakan yang
dilestarikan pada cerita tutur masyarakat Arcawinangun. Kabakan
tampaknya menunjukkan wilayah yang dikuasai oleh Sang Baka. Dalam
perkelahian, Adipati Mersi terbunuh dan dibuang ke saluran air bawah
tanah yang terbuat dari batu. Masyarakat Arcawinangun yang sudah melihat
saluran itu memberikan kesaksian yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan
bahwa diatas saluran itu dipahatkan huruf Jawa Kuna, tapi ada pula yang
mengatakan huruf Arab yang dituliskan. Jasad Adipati Mersi muncul
terapung-apung di bale kambang (sekarang lapangan Mersi).
Memang saluran itu muncul di Mersi setelah berkelak-kelok di
Arcawinangun. Rupanya, Sang Baka juga membuat sungai baru ke arah barat
bagi Sungai Pelus, tapi sungai itu batal direalisasikan dan masyarakat
menyebut sungai itu Kali Bakal (calon sungai).
Penamaan itu tampaknya rancu, mestinya Kali Baka atau Sungai Baka.
Kasus pemindahan aliran Sungai Pelus sama pada kasus pembangunan candi
Prambanan. Apa yang disebut dengan Makam Astana Dhuwur Mbah Karta adalah
reruntuhan candi yang tidak terpelihara. Anehnya, orang Belanda yang
membangun bendungan itu malah memanfaatkan batu-batu candi tersebut.
Catatan mengenai reruntuhan candi tersebut tidak dicantumkan dalam artikel yang
ditulis oleh Van Dapperen (1932). Agaknya penulis Belanda tersebut belum mengobservasi situs-situs bagian bawah aliran Sungai Pelus. Di samping, Astana
Dhuwur, juga ada Astana Rawen sebagai pemujaan dewa matahari (Suryya).
Di Arcawinangun, ada pantangan pertunjukan wayang kulit dengan lakon
Parikesit, lakon pasca-perang Baratayuda. Hubungan Arcawinangun dengan
Mersi diposisikan dalam cerita itu. Mersi menurut cerita tutur disebut
sebagai tempat tinggal maharesi, Durna. Aswatama dari Mersi mencoba
membunuh Parikesit, tetapi ia sendiri yang terbunuh dan jasadnya dibuang
ke dalam saluran air bawah tanah seperti dinyatakan oleh cerita tutur
versi lain. Reruntuhan candi di Arcawinangun selain dihubungkan dengan
Adipati Kabakan dan cerita wayang Parikesit, juga direlasikan dengan
cerita Kamandaka seperti yang dituturkan teks Babad Pasir. Namun,
kiranya reruntuhan candi itu berasal dari masa yang tidak terlalu jauh
setelah Prambanan. Tokoh Baka sering dihubungkan dengan perebutan
kekuasaan antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa. Tokoh Baka juga dekat
sekali dengan kisah legenda candi Prambanan.
Keberadaan Pasirluhur menurut teks Babad Pasir merupakan sejarah panjang dari masa Hariang Banga (dari zaman Mataram Kuna)
hingga Banyak Belanak yang berkuasa pada masa Demak. Pasirluhur adalah
kerajaan merdeka yang menggalang kesatuan konsentris dengan 25 negeri,
tetapi lebih menonjolkan relasinya dengan Pajajaran. Pajajaran
diperhitungkan sebagai kekuatan yang terdekat dengan Pasirluhur, selain
Majapahit. Teks Babad Pasir menggambarkan ada tiga kekuatan di Pulau
Jawa, yaitu Pajajaran (di arah barat), Pasirluhur (di tengah), dan Majapahit (di timur).
Pada masa Majapahit, di Banyumas muncul kekuatan lain, yaitu Wirasaba,
sebagai kerajaan daerah bawahan Majapahit. Wirasaba identik dengan
Paguhan yang secara berangsur-angsur berubah menjadi Paguwon atau
Peguwon. Desa Paguwon sebagai sisa-sisa kadipaten Wirasaba yang sekarang
terletak di kota Purwokerto yang dipilih untuk menggantikan ibu kota
Kabupaten Ajibarang.
Awal-mula berdirinya Kabupaten Ajibarang
ketika Perang Diponegoro selesai, Banyumas sebagai daerah mancanegara
kilen diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan dibentuk Karesidenan
Banyumas. Di Banyumas, ada dua pejabat wedana bupati, yaitu Kasepuhan
dan Kanoman. Wafatnya Kangjeng Raden Adipati Mertadiredja I atau
Bratadiningrat pada tanggal 23 September 1830 (6 Rabingulakir 1758 Je) (Soedarmadji, 1991:48)
yang menjadikan Tumenggung Sokaraja, Bratadimedja diangkat sebagai
penggantinya dengan gelar nunggak semi Mertadiredja II. Ketika
pembentukan Karesidenan Banyumas, Kasepuhan dan Kanoman dihapuskan.
Gubernur Jenderal Johannes Graaf van den Bosch membuat surat keputusan (berupa rencana pembentukan Karesidenan, afdeeling, dan kabupaten di Karesidenan Banyumas) tertanggal 18 Desember 1830 yang hanya menyebut empat kabupaten, yaitu Banyumas (Banjoemas), Ajibarang (Adji-Baran), Dayeuhluhur (Daijoe-Loehoer), dan Purbalingga (Probolingo). Namun, dalam Resolutie van den 22 Agustus 1831, No.1 telah diangkat 5 orang pejabat bupati di Karesidenan Banyumas, yakni:
(1) Ngabehi Cakranegara dari Purwokerto diangkat menjadi bupati Banyumas,
(2) Raden Tumenggung Mertadiredja II, Wedana Bupati Kanoman Banyumas diangkat menjadi Bupati Ajibarang,
(3) Ngabehi Dipayuda dari Ngayah diangkat menjadi Bupati Banjarnegara,
(4) Tumenggung Prawiranegara tetap di Dayeuhluhur, dan
(5) Tumenggung Dipakusuma tetap di Purbalingga. Kelima pejabat di atas semuanya memakai gelar raden tumenggung (Priyadi, 2004: 159).
Tabel
3 yang menunjukkan karier Kangjeng Kalibogor, yaitu tokoh bupati
pertama yang dimakamkan di Kalibogor, yaitu Kangjeng Pangeran Arya
Mertadiredja II, yang wafat pada tanggal 20 September 1853 (Soedarmadji, 1991: 51) adalah tokoh yang mendirikan kota Purwokerto.
Tabel 3.
Karier Kangjeng Kalibogor
No. / Nama Jabatan / Nama Pejabat / Awal Jabatan
1. / Mantri Anom / Kraton Surakarta / Mas Wirjanadpada
2. / Ngabehi Sokaraja / Raden Ngabehi Sumadiredja / 13 Mei 1815
3. / Ngabehi Sokaraja / Ngabehi Bratadimedja / 26 Juli 1825
4. / Tumenggung Sokaraja / Tumenggung Bratadimedja / 21 Juni 1830
5. / Wedana / Bupati Banyumas Kanoman / Raden Tumenggung Mertadiredja II / 21 Nopember 1830
6. / Bupati Ajibarang / Raden Adipati Mertadiredja II / 22 Agustus 1831
7. / Bupati Purwokerto / Raden Adipati Mertadiredja II / 6 Oktober 1832
(Sumber : Soedarmadji, 1991: 46 – 51).
Raden
Adipati Mertadiredja II berdasarkan Resolutie No. 1 tertanggal 22
Agustus 1831 menjabat bupati Ajibarang yang secara legenda menggantikan
Tumenggung Jayasinga dengan wilayah meliputi distrik Purwokerto,
Ajibarang, Jatilawang, dan Jambu (Atmodikoesoemo, 1988: 85).
Jayasinga terkenal juga dengan nama Singadipa. Tokoh ini adalah salah
seorang pemimpin Perang Jawa yang berasal dari Ajibarang. Menurut
kepercayaan masyarakat Ajibarang, munculnya angin topan itu disebabkan
oleh Raden Adipati Mertadiredja II mengambil putri Singadipa menjadi
anak angkat. Singadipa adalah orang Banyumas yang menjadi anak buah
Pangeran Diponegoro yang sangat anti-Belanda. Bupati Ajibarang pada
waktu itu adalah bawahan Belanda sehingga Singadipa yang sedang menyamar
tidak mengizinkan maksud Raden Adipati Mertadiredja II. Angin topan
yang diceritakan secara tutur berlangsung 40 hari 40 malam menyebabkan
kerusakan yang parah sehingga ibu kota dipindahkan ke desa Peguwon.
Perpindahan ke Purwokerto tercatat oleh Pangeran Mertadiredja III pada tanggal 6 Oktober 1832 (Soedarmadji, 1981: 5 & 1991: 51).
Jadi, kabupaten Ajibarang hanya berlangsung dari tanggal 22 Agustus
1831 hingga 6 Oktober 1832. Jadi, hanya 1 tahun 1 bulan 15 hari.
Perpindahan ke Purwokerto menjadikan Raden Adipati Mertadiredja II
disebut sebagai pendiri kota Purwokerto dan tanggal 6 Oktober 1832
adalah hari jadi kabupaten atau kota Purwokerto sebagai pusat politik
baru. Nama Kabupaten Ajibarang diganti dengan nama Kabupaten Purwokerto.
Tabel 4 menunjukkan para bupati yang pernah
menjabat di Purwokerto sebelum dihapuskan pada tanggal 1 Januari 1936.
Penghapusan
Kabupaten Purwokerto pada tanggal 1 Januari 1936 dan digabung dengan
Kabupaten Banyumas, terdapat dua ibu kota kabupaten, yakni Banyumas dan
Purwokerto. Pada waktu itu, Banyumas adalah kota terbesar di karesidenan
Banyumas. Banyumas sebelum Belanda mengambil alih adalah ibu kota
mancanegara kilen dengan ukuran luas alun-alun yang berbeda dengan
kabupaten lainnya. Kabupaten Purwokerto adalah kabupaten kecil. Bupati
Banyumas pada waktu itu adalah Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata, bukan
Kangjeng Pangeran Arya Gandasubrata seperti disebut oleh Brotodiredjo
& Ngatidjo Darmosuwondo (1969: 83)
pada buku karya bersama mereka. Ibu kota karesidenan dan kabupaten
Banyumas dipindahkan ke Purwokerto pada tanggal 26 Pebruari 1936.
Pendapa Si Panji dipindahkan ke Purwokerto pada bulan Januari 1937,
sedangkan Raden Tumenggung Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata pindah ke
Purwokerto pada tanggal 5 Maret 1937 (Soedarmadji, 1981: 6).
Dipindahkannya Pendapa Si Panji disebabkan oleh perkiraan bahwa pendapa
kabupaten Purwokerto akan roboh karena banyak tiang kayunya yang
keropos, sebaliknya Pendapa Si Panji yang usianya jauh lebih tua ketika
dibongkar tidak ada bagian yang rusak (Gandasubrata, 1952: 28).
Mengapa Sudjiman lebih memilih Purwokerto sebagai ibu kota kabupaten Banyumas?
Menurut
Sudjiman, kota Purwokerto lebih strategis dan dapat berkembang seiring
dibukanya jalan kereta api. Namun, alasan yang subjektif adalah:
Tabel 4.
Para Pejabat Bupati Purwokerto
No. / Periode / Nama Pejabat Bupati / Keterangan
1. / 1832 – 1853 / Kangjeng Pangeran Arya Mertadiredja II / Putra Mertadiredja I, wedana bupati Kanoman Banyumas.
2. / 1853 – 1860 / Raden Tumenggung Djojodiredjo / Putra Ngabehi Kertodiredjo,
Menantu Mertadiredja II.
3. / 1860 – 1879 / Raden Adipati Mertadiredja III / Pensiun dengan Gelar Kangjeng
Pangeran Arya, Pindah ke Banyumas.
4. / 1879 – 1882 /Raden Tumenggung Tjokrosaputro / Adik Tumenggung Tjokronegoro II,
mantan bupati Banyumas.
5. / 1882 – 1885 / Lowong Tidak ada bupati.
6. / 1885 – 1905 / Raden Mas Tumenggung Tjokrokusumo / Putra Tumenggung Tjokronegoro II
7. / 1905 – 1920 / Raden Tumenggung Tjokronegoro III / Adik Tumenggung Tjokrosaputro
8. / 1920 – 1924 / Lowong Tidak ada bupati.
9. / 1924 – 1936 / Raden Tumenggung Tjokroadisurjo / Putra Raden Tjokronegoro, bupati
Ponorogo
10. / 1-1-1936 / Kabupaten Purwokerto dihapus / Masuk Kabupaten Banyumas.
(Sumber: Oemarmadi & Koesnadi, 1964: 38).
Sudjiman
terlalu mencintai kota Purwokerto seperti kakeknya karena kota itu
didirikan oleh kakek buyutnya, Kangjeng Pangeran Mertadiredja II.
Kefanatikan Sudjiman terhadap Purwokerto menyebabkan dua orang anaknya
diberi nama Adjito, mantan Kepala Pengadilan Negeri Semarang (akronim Ajibarang-Purwokerto) dan Purwoto, mantan Ketua Mahkamah Agung RI (akronim dari Purwokerto).
SIMPULAN
Bacaan
yang tepat untuk nama kota Purwokerto adalah Purwakerta. Bacaan
Purwokerto adalah bacaan yang memakai bahasa Jawa Yogya-Solo sebagai
acuan. Orang-orang Banyumas sendiri menyebut Purwokerto dengan bacaan
Puraketa, Praketa, atau Prakerta.
Tanggal 6 Oktober 1832
adalah tanggal bersejarah karena sejak itu,muncul kabupaten Purwokerto
setelah kepindahannya dari Ajibarang. Kota Purwokerto dibangun di desa
Paguwon atau Peguwon yang diduga merupakan wilayah Kadipaten Wirasaba
atau bagian dari daerah kerajaan Paguhan, yaitu suatu kerajaan di bawah
Majapahit. Raden Adipati Mertadiredja II adalah perintis atau
pendiri
kota Purwokerto sehingga Purwokerto menjadi ibu kota kabupaten
Puwokerto setelah kepindahannya dari Ajibarang. Mertadiredja II (pensiun
gelar Kangjeng Pangeran) adalah bupati pertama yang dimakamkan di
Kalibogor sehingga beliau disebut Kangjeng Kalibogor. Pada tanggal 1
Januari 1936, kabupaten Purwokerto dihapus dan wilayahnya digabungkan
dengan kabupaten Banyumas.
Tanggal 26 Pebruari 1936, ibu kota kabupaten dan karesidenan dipindah ke Purwokerto.
Assalaamu 'alaikum. Tulisan yang bagus, menarik dan penuh dengan kisah sejarah yang membangkitkan semangat untuk mmbangun atas, izin AlloH.
BalasHapusMohon informasi dan pencerahan Silsilah Nasab dari Mbah kami, Kastadja bin Sarwan bin Mujib yang insyaa AlloH masih keturunan Nabi Muhammad S'AW yang hidup pada tahun 1920an s.d. 1993 M di desa Karang Turi, Purwokerto. Beliau adalah seorang yang berperawakan sedang, tinggi kurang lebih 156 Cm fan tubuh kurus sedang, memiliki isteri 2 kalau tidak salah. Mohon diinfokan mengenai Silsilah Nasab Mbah Kastadja bin Sarwan bin Mujib Jawa Tengah di WA saya 0812 8979 6907 atau muhammad.muhammad.muhammad1@gmail.com
Terima kasih. Semoga AlloH membalas semua kebaikan Saudara semua dgn Kebrkahan, keridloan Alloh selamanya. Aamiin
Sayyid Marwan bin Sardiwan bin Kastadja bin Sarwan bin Mujib, Setu Kab. Bekasi
Paguhan salah satu pilar kokoh Majapahit. Sepertinya sejarah pra Demak (Islam) habis dibabat. Jejaknya tdk bisa dilacak.
BalasHapus